Rabu, 28 Maret 2012

JAGOI BABANG: MENILIK KUALITAS PENDIDIKAN DI PERBATASAN

Oleh: Febri Hermawan

Jagoi Babang bukanlah sebuah kawasan elit, tetapi hanyalah kawasan tertinggal di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dibutuhkan waktu sekitar empat jam menuju pusat Kabupaten Bengkayang jika menggunakan sepeda motor melewati jalan negara yang rusak tak terurus dan setengah jam jika berjalan kaki menuju negeri tetangga. Meskipun Jagoi Babang merupakan titik nol batas Indonesia-Malaysia, kondisi di daerah ini cukup memprihatinkan, seperti dalam bidang pendidikan.

Kondisi Geografis
            Kecamatan Jagoi Babang merupakan kecamatan yang terletak paling utara
Kabupaten Bengkayang yang dibentuk pada tahun 1999. Secara geografis, Kecamatan Jagoi Babang terletak di 1015’16” Lintang Utara sampai 1030’00” Lintang Utara dan 109033’95” Bujur Timur dan 109059’27” Bujur Timur. Secara administratif, Kecamatan Jagoi Babang berbatasan dengan Serawak-Malaysia di sebelah utara, Kecamatan Seluas di sebelah selatan, Kecamatan Siding di sebelah timur dan Kabupaten Bengkayang di sebelah barat.
Luas wilayah Kecamatan Jagoi Babang pada tahun 2006 adalah sebesar 655,00 km2 dan terbagi dalam 6 desa. Pada tahun 2003, berdasarkan Perda nomor 26 tahun 2003, Kecamatan Jagoi Babang yang sebelumnya membawahi 5 desa dengan luas wilayah sebesar 1.218,30 km2 dipecah menjadi 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Jagoi Babang dan Kecamatan Siding. Kecamatan Jagoi Babang wilayahnya mencakup 2 desa lama, yaitu Desa Jagoi dan Desa Kumba. Berdasarkan Perda nomor 5 tahun 2003, dua desa yang ada dipecah menjadi 6 desa. Desa Jagoi dipecah menjadi 2 desa, yaitu Desa Jagoi dan Desa Jagoi Sekida. Sedangkan Desa kumba dipecah menjadi 4 desa, yaitu Desa Kumba, Desa Sinar Baru, Desa Gersik dan Desa Semunying Jaya.

Penduduk dan Kondisi Sosial-Pendidikan
Salah satu modal penting dalam pembangunan adalah penduduk karena penduduk merupakan obyek sekaligus sebagai subyek dalam pembangunan itu sendiri. Penduduk sebagai subyek berarti penduduk yang ada menjadi pelaku pembangunan yang akan dilaksanakan. Penduduk sebagai obyek berarti penduduk merupakan tujuan dari pembangunan itu, yaitu membangun manusia yang ada.
Jumlah penduduk Kecamatan Jagoi Babang pada akhir tahun 2006 adalah sebanyak 8.259 jiwa dengan 1.207 kepala keluarga. Jika dirinci menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki ada sebanyak 4.199 jiwa dan jumlah penduduk perempuan ada sebanyak 4.060 jiwa. Kepadatan penduduk yang ada di Kecamatan Jagoi Babang adalah sebanyak 13 jiwa per kilometer persegi. Rata-rata jumlah anggota keluarga untuk setiap keluarga di Kecamatan Jagoi Babang adalah 7 jiwa per keluarga[2].
Salah satu faktor penting dalam pembangunan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada melalui pendidikan. Indikator pembangunan pendidikan dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas pendidikan yang ada. Pada tahun 2006 di Kecamatan Jagoi Babang, terdapat 15 Sekolah Dasar, 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Namun demikian, sekolah untuk tingkat pendidikan TK, SMK masih belum tersedia. Jumlah murid selama tahun 2006 adalah sebanyak 943 siswa untuk tingkat SD, sebanyak 158 siswa untuk tingkat SLTP, dan sebanyak 51 siswa untuk tingkat SLTA. Selanjutnya, tenaga guru yang ada pada tahun ajaran yang sama untuk tingkat pendidikan SD adalah sebanyak 66 orang, sebanyak 16 orang untuk tingkat SLTP, dan sebanyak 13 orang untuk tingkat pendidikan SLTA. Masih perlu penambahan jumlah fasilitas pendidikan guna percepatan peningkatan kualitas pendidikan di Kecamatan Jagoi Babang.

Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan
            Berdasarkan beberapa kasus, di mata warga Negeri Jiran menawarkan sejuta kemajuan termasuk dalam bidang pendidikan. Hal tersebut menjadikan sebagian masyarakat mengadu nasib ke sana dan mengajak anak-anaknya meski masih di bawah umur. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar para orang tua dan anak-anaknya lebih perhatian terhadap dunia pendidikan. Beberapa upaya telah dilakukan oleh beberapa pengajar dan membuahkan hasil. Lambat laun kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya daripada menjadikannya buruh cilik makin meningkat. Menurut Plegon, salah seorang guru di sana, hasil tersebut berbanding lurus dengan peningkatan mutu sekolah berupa pemenuhan sarana-prasarananya. “Kalau bisa perhatian pemerintah kepada daerah di wilayah perbatasan agak lebih,” imbaunya. (kompas.com, 13 Oktober 2010)
            Pada dasarnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah terluar, perbatasan dan daerah tertinggal, seperti di Jagoi Babang tidak hanya dibutukan subsidi pendidikan melalui kegiatan Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional wilayah terluar, perbatasan dan daerah tertinggal, tetapi juga peran aktif para pengajar melalui metode pengajaran yang aktif dan menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Antoro, Billy.  Dan, Plegon Mulai Sumringah Melihat Jagoi Babang. http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/13/dan-plegon-mulai-sumringah-melihat-jagoi-babang/, diakses pada 15 Maret 2012 pukul 11.02.
Koordinator Statistik Kecamatan Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang dalam Angka, http://kalbar.bps.go.id/Bengkayang/file/product/kcda/kcdapdf/jagoi/KCDA%20Jagoi%20Babang%202007.pdf, diakses pada 15 Maret 2012 pukul 10.58.
Koordinator Statistik Kecamatan Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang dalam Angka, http://kalbar.bps.go.id/Bengkayang/file/product/kcda/kcdapdf/jagoi/Bab_3Penduduk.pdf, diakses pada 15 Maret 2012 pukul 10.59.
Koordinator Statistik Kecamatan Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang dalam Angkahttp://kalbar.bps.go.id/Bengkayang/file/product/kcda/kcdapdf/jagoi/Bab_4Sosial.pdf, diakses pada 15 Maret 2012 pukul 11.00.




ANALISIS GEGURITAN “SUJUD”

Febri Hermawan, 1006776302


SUJUD
            Rohadi Ienarta

mung sujud
bakal ngrumangsani
ana Langit
ngurung laku
(dikutip dari Panyebar Semangat Np. 31, 1 Agustus 1998)

à   Aspek Bunyi
Geguritan atau “puisi bebas” karya Rohadi Ienarta di atas merupakan contoh pola persamaan bunyi yang sudah tidak lagi menampakkan puisi Jawa tradisional. Rima akhir /d/, /i/, /t/ dan /u/ tidak ditampilkan secara berpola. Oleh karena itu, pemarkah spasial tidak tampak akibat kehadiran bunyi yang tidak berpola. Akan tetapi, bunyi yang dihadirkan pada puisi tersebut menjadi salah satu kekuatan yang fungsional karena tidak semata-mata ingin meghadirkan makna estetis.
à   Aspek Spasial
Geguritan ini hanya memiliki spasial tidak konvensional karena hanya terdiri atas empat gatra dan masing-masing gatra hanya terdiri atas dua kata. Namun demikian, masih dapat diperoleh makna kontekstual: mung sujud / bakal ngrumangsani / ana Langit / ngurung laku, meskipun tanpa menghadirkan tembung panggandeng ‘kata sambung’. Fungsi aspek spasial geguritan ini kurang menghadirkan makna estetis.
à   Aspek Kebahasaan
Tampilan bahasa pada geguritan ini tidak mengikuti kaidah kebahasaan secara utuh sebagaimana tampak melalui paramasatra ‘tata bahasa’ yang ditampilkan. Penulisan Langit (dengan huruf /l/ kapital) merupakan contoh “penyimpangan” penggunaan huruf kapital. Huruf kapital /l/ berfungsi aksentuatif dan konotatif untuk kata Langit sehingga berpengaruh pada makna kontekstual secara keseluruhan.
Dilihat dari leksikalnya, sangat sederhana dalam pengertian berasal dari kosa kata sehari-hari yang produktif, tetapi tidak ditemukan kosa kata asing dan dialek. “Sujud” merupakan majas dalam bentuk wacana “luas” dalam menyatakan atau mengungkapkan suasana “hening”, perasaan “insyaf”, pribadi “lemah”, tempat “suci dan hal-hal lain sehingga sesuai dengan tematik wacananya, yaitu menyembah Yang Maha Esa. Selain itu, puisi pendek ini mengandung leksikal yang dapat disebut sebagai majas. Ngurung laku ‘mengurung langkah’ merupakan majas personifikasi. Ungkapan tersebut merupakan “bentukan” baru atau tidak klise.
à   Aspek Pengujaran
Subjek Pengujaran
Berdasarkan kehadirannya dalam wacana, subjek pengujaran dalam geguritan ini termasuk ke dalam subjek pengujaran ekstern. Artinya, subjek pengujaran tidak hadir dalam wacana atau tidak bertindak sebagai aku liris. Jika dilihat dari wujud wacana sebagaimana dituturkan oleh subjek ujaran, termasuk geguritan yang monolog.
Objek Pengujaran
Subjek Ujaran
Geguritan ini menghadirkan subjek ujaran secara tersurat. Subjek ujarannya adalah sujud ‘bertelut’. Kosa kata itu dapat dianggap menduduki subjek kalimat dengan bakal ngrumangsani ‘akan menginsyafi’ sebagai predikat dan Langit ‘langit’ sebagai objek. Kata sujud juga merupakan sebab yang mengakibatkan bakal ngrumangsani / ana Langit / ngurung laku ‘akan menyadarkan / adanya Langit / mengurung langkah’. Dengan demikian, subjek ujaran dalam geguritan ini sekaligus menjadi judul dan menjadi bagian dari leksikal judul wacana.
Tema
Tema dalam geguritan ini lebih kuat tampil melalui aspek kebahasaannya. Hal tersebut karena ada indikasi kaitan yang erat antara leksikal judul dengan tema wacananya. Pada intinya, geguritan ini bertema keagamaan.
Latar dan Alur
Pada geguritan ini alur tidak mucul karena tidak bersifat naratif. Begitu pula dengan latar, tidak dimunculkan.

Jumat, 09 Desember 2011

Ringkasan Mata Kuliah Pengantar Filologi Jawa (vol.1)


Ringkasan Mata Kuliah Pengantar Filologi Jawa
Febri Hermawan, 1006776302

1.    Naskah dan Teks
            Naskah merupakan peninggalan yang berupa helaian-helaian, berisi teks yang panjang dengan pembuatan secara tradisional. Sedangkan wacana yang terkandung di dalam naskah atau wacana yang dapat dibaca dari suatu naskah disebut teks. Naskah menjadi bidang kajian kodikologi, sedang teks merupakan bidang kajian tekstologi. Pengertian naskah mencakup alat tulis (beserta bahan dan teknik penjilidannya), sampul, aksara beserta sistem ejaannya, tinta, rubrikasi, iluminasi, dan hiasan-hiasan. Kemudian, dalam memahami teks, tidak semua orang memiliki “kemampuan membaca”, karena perlu keahlian khusus dalam mempelajari aksara beserta ejaannya, pengetahuan budaya, pengetahuan sastra, dan pemahaman budaya. Teks terbagi mejadi dua (2), yaitu teks lisan dan teks tulis. Teks lisan adalah wacana yang dihasilkan dan disebarluaskan atau diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, sedang teks tulis sebaliknya.
            Pengertian naskah dalam kajian sastra lama mengandung matra khas dan lama sehingga berbeda istilah dengan naskah masa kini, seperti naskah dalam dunia penerbitan, panggung, dan pidato. Pengertian “lama” memiliki matra “jarak waktu” dan “jarak budaya”. Jarak budaya lebih nyata disbanding jarak waktu karena naskah (dan teks yang terkandung di dalamnya) diciptakan pada masa lampau ketika unsur-unsur budaya yang menyertainya tidak diakrabi lagi oleh pembaca masa kini. Terdapat perbedaan antara naskah dan prasasti meski sama-sama peninggalan tertulis. Perbedaan tersebut, yakni (1) alat tulis prasasti berupa benda-benda keras, seperti batu dan logam, sedang alat tulis naskah mudah rusak, (2) prasasti tidak pernah digandakan, sedang naskah bersifat produktif, (3) isi prasasti lebih pendek dan ringkas daripada isi naskah, (4) wacana dalam prasasti benar-benar terjadi, sedang wacana dalam naskah kebanyakan bersifat rekaan atau fiksi, (5) prasasti relatif tetap berada di tempatnya semula, sedang naskah memiliki tingkat mobilitas yang relative tinggi.
            Alat tulis adalah bahan yang ditulisi dan disatukan (baca: dijilid) menjadi satu kesatuan yang kemudian disebut naskah. Dalam tradisi pernaskahan nusantara dikenal alat tulis berupa daun nipah, rontal, daluang atau dluwang, bambu, kulit kayu, kain, dan kertas Eropa. Selain dluwang, tradisi pernaskahan Jawa juga mengenal karas dan pundak. Karas diperkirakan berbentuk sebagai kepingan papan atau semacam batu tulis yang penulisannya menggunakan pengutik atau tanah. Pundak merupakan padanan bunga pandan dalam bahasa Jawa baru. Berbagai alas tulis tradisional tersebut sangat rentan terhadap cuaca dan serangga perusak, sehingga kemungkinan banyak naskah tidak sampai pada kita dewasa ini. Beruntunglah ada tradisi penyalinan sehingga banyak teks terselamatkan meskipun naskah awalnya telah musnah.
            Aksara bukan saja menjadi alat bantu komunikasi, tetapi juga menjadi sarana perekam cara berpikir, adat, norma, dan unsur budaya suatu masyarakat, kemudian menjadi sarana dokumentasi budaya. Tradisi keberaksaraan menandai tahap budaya: tahap sebelum dikenal tulisan disebut “masa prasejarah”, sedang tulisan disebut “masa sejarah”. Tradisi keberaksaraan Nusantara yang lebih nyata mulai berlangsung pada abad ke-10 dengan penulisan teks Kakawin Râmâyana berbahasa Jawa kuna. Naskah Jawa ditulis dengan aksara Jawa, aksara pegon, dan aksara Latin. Penulisan naskah Nusantara menggunakan aksara Batak, aksara rencong dan kaganga, aksara Sunda, aksara Bali, aksara Bugis, dan lain-lain.
            Komunikasi antara pembaca dan teks pada umumnya bersifat searah karena pembaca melakukan kegiatan membaca teks dengan segala pemaknaan dan penafsiran teks yang dibacanya. Oleh karena itu, perlu pemahaman khusus terhadap teks, termasuk aksara karena naskah dan teks merupakan produk budaya masa lalu yang keungkinan mempunyai jarak waktu yang sangat jauh dengan saat naskah dan teks tersebut dibaca. Bahasa merupakan sarana ungkap teks dan bahasa mengalami perubahan dan/ atau perkembangan dari masa ke masa, seperti halnya bahasa Jawa. Bahasa Jawa dibagi ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu bahasa Jawa kuna, bahasa Jawa pertengahan, dan bahasa Jawa baru. Bahasa Jawa baru masa kini dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan bahasa asing lainnya. Oleh karena itu, prosodi sastra macapat, kidung, dan kakawin berbeda.
            Menurut Pigeaud, teks-teks dalam naskah Jawa yang tersimpan di perpustakaan Negeri Belanda dibagi menjadi empat (4), yaitu (1) teks-teks keagamaan dan moral, (2) teks-teks sejarah dan mitologi, (3) teks-teks belles-lettres, (4) teks-teks ilmu pengetahuan, seni, ilmu sastra, hukum, cerita rakyat, adat, dan bunga rampai. Menurut Karsono, sastra wulang adalah karya sastra yang memiliki kandungan isi sebagai nasihat, petuah, dan ajaran (matra sosial). Sastra suluk dan wirid mengandung matra keagamaan (Islam).
            Kegunaan mengetahui umur naskah adalah untuk merunut silsilah teks, menafsirkan makna teks, dan menafsirkan aksara dan ejaan. Penentuan umur naskah dapat dilakukan melalui alat tulis, asalkan alas tulis berupa kertas Eropa yang memiliki “cap kertas” dan “cap sandingan” (berupa gambar dan/ atau huruf yang membayang pada bidang halaman alas tulis, akan tampak jika diterawang). Informasi mengenai umur naskah seringkali dapat diperoleh pada kolofon (catatan tambahan di akhir teks) berupa sengkalan (sejenis konogram, penunjukkan angka tahun melalui lambang). Terakhir, informasi mengenai umur naskah dapat diketahui melalui kelopak naskah. Apabila ketiga jenis informasi —alas tulis, kolofon, dan kelopak naskah— tersebut tidak ada, umur naskah dapat diperkirakan melalui gaya aksara dan ejaan. Sedangkan ntuk mengetahui umur teks, dapat dilihat atau ditafsirkan berdasar pada manggala, bahasa, dan nama atau peristiwa sejarah.
            Bahrend memperkirakan jumlah naskah Jawa sekitar 19.000-an dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, sedang Chambert-Loir mendaftar 22 negara di dunia yang menyimpan naskahnaskah Jawa. Disamping karena perdagangan, banyak naskah Jawa yang berpindah tangan karena dijadikan sebagai cendera mata atau hadiahkan kepada pihak lain.
            Katalog merupakan “daftar benda” yang menjadi subjek. Di dalam catalog juga disertakan keterangan fisik naskah. Tujuan dari katalogisasi adalah sebagai “pintu masuk” untuk mengetahui keberadaan naskah yang dicari. Katalog yang dianggap baik adalah catalog yang mnyertakan ringkasan isi teks.

2. Produksi dan Reproduksi
             Teks tercipta berdasar daya sanggit ‘kreatifitas’ para pujangga. Mata rantai proses penciptaan teks berkemungkinan dari teks lisan menjadi teks tulis lalu menjadi teks lisan lagi dan seterusnya. Korpus adalah seluruh naskah yang mengandung teks sejenis. Dalam tradisi pernaskahan Jawa, arketipos atau teks yang menjadi sumber penciptaan “teks baru” (dan juga penyalinan) disebut sebagai teks babon ‘induk’. Tujuan  penciptaan (atau penulisan) teks dipengaruhi oleh berbagai faktor, sesuai dengan situasi budaya ketika suatu teks ditulis. Teks kemungkinan ditulis sebagai ungkapan budaya untuk berkomunikasi, sebagai pengajaran, untuk mencatat peristiwa yang pernah terjadi, ditulis atas perintah seseorang atau pihak yang berkuasa, dan sebagai suatu persembahan kepada raja atau dewa. Teks bahkan dicipta dari akumulasi berbagai alasan di atas.
            Kemunculan sejumlah naskah yang mengandung teks sama atau sejenis merupakan hasil kegiatan reproduksi atau penyalinan, yang dalam tradisi pernaskahan Jawa disebut mutrani. Dalam tradisi penyalinan dikenal dua (2) macam tradisi penyalinan, yaitu penyalinan tertutup dan penyalinan terbuka. Penyalinan tertutup adalah proses penyalinan yang hanya menggunakan satu naskah sebagai naskah babon dan si penyalin setia melakukan penyalinan huruf demi huruf, tanda baca demi tanda baca, dan kata demi kata. Kesalahan mungkin terjadi karena adanya diffografi ‘rangkapn aksara, tetapi tidak mengubah makna. Penyalinan terbuka adalah suatu proses penyalinan dengan penyalin menentukan sikap “tidak setia” pada naskah induk yang disalinnya. Terdapat perbedaan tataran kata dan kalimat serta tataran hakikat teks atau cerita dengan naskah-naskah yang disalin. Munculnya versi dalam satu korpus tidak hanya karena penyalinan terbuka, tetapi juga karena penciptaan baru oleh pengarang yang berbeda. Alasan-alasan suatu naskah disalin, antara lain: (1) melestarikan teks dari kepunahan (akibat jazad renik, serangga, cuaca, dan vandalism), (2) ingin memiliki teks (karen adalam masyarakat tradisional, teks memiliki fungsi sosial yang dianggap memiliki kekuatan gaib), (3) atas perintah pihak lain, (4) alasan ekonomi.
            Pusat-pusat keberaksaraan yang sekaligus menjadi tempat penciptaan teks dan penyalinan naskah disebut scriptorium. Kelompok scriptorium, yakni scriptorium keraton dan scriptorium di luar keraton. Pengelompokkan tersebut sangat nisbi karena tidak disertai dengan criteria yang jelas. Seringkali naskah-naskah keraton dicirikan dengan penggunaan bahasa baku “baku”, ketaatan pada kaidah pembaitan, dan penulisan yang rapi dengan ejaan standar. Padahal naskah bukan keraton, seperti naskah-naskah pesantren juga terjaga dalam bahasa, pembaitan, dan kerapian serta enak dan indah untuk dibaca. Skriptorium sangat berkaitan dengan umur naskah dan umur teks.   
            Pengarang adalah orang yang melahirkan teks atau orang yang melahirkan karya pertama kali. Karya yang berupa teks seperti itu disebut sebagai “autograf”. Ketika teks yang terekam ke dalam bentuk naskah itu menjadi naskah induk dari naskah-naskah salinan atau menjadi purwarupa (prototype) teks-teks yang ada, autograf disebut sebagai “arketip”. Kegiatan pengarangan merupakan kegiatan intelektual yang biasanya berada di pusat-pusat kebudayaan: keraton atau istana, pesantren, atau mandala. Dalam proses penciptaan, pengarang tidak tidak berangkat dari dunia kosong, tetapi berdasar “teks” yang sudah ada. Teks itu dapat berupa teks secara visual dan dalam bentuk naskah, lakon, cerita lisan, peristiwa, keyakinan, ddan sebagainya. Kemudian diramu dan diolah sesuai dengan tradisi atau aturan yang berlaku di lingkungannya, dalam bentuk konvensi dan sanggit. Seringkali terdapat pendekatan yang semata-mata secara tekstual suatu naskah, penilaian absurd dan tidak masuk akal pasti akan terjadi. Namun, apabila pembaca mengenal kode budaya, yang berarti menangkap adanya perlambang, teks itu akan dibaca dengan penafsiran sehingga menghasilkan pemaknaan yang lain pula.
           
           

Monumen Luka FIB-UI, Karya Hanafi

ANALISIS TERHADAP “MONUMEN LUKA”
oleh: Febri Hermawan, 1006776302 
Monumen Luka merupakan sebuah monumen yang berdiri di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sejak tahun 2005. Monumen yang terletak di depan bekas gedung perpustakaan itu, diciptakan oleh seorang pelukis dan perupa ternama bernama Hanafi. Monumen Luka tersebut tercipta atas pengalaman realitanya terhadap sebuah bencana besar yang pernah melanda negeri ini, yaitu Tsunami Aceh, tanggal 26 Desember 2004 silam. Kejadian tersebut memang menggoreskan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak yang berusaha untuk membangun sebuah karya arsitektur atau bangunan, seperti Museum Tsunami Aceh dan Monumen Luka untuk mengenang peristiwa di penghujung tahun 2004 itu. Selain itu, monumen itu juga terinspirasi dari tragedi Bom Bali. Berikut adalah gambar desain dan hasil dari Monumen Luka.


Gambar 1. Desain

 Gambar 2. Hasil

Dari kedua gambar tersebut di atas terlihat bahwa monumen dibuat secara sederhana dalam bentuk tiga pembalut luka yang terbuat dari besi, terdapat lipatan di ujung kiri setiap pembalut luka tersebut, terdapat lubang-lubang kecil di setiap pembalut luka, dan digantung dibawah tiang yang dibuat dari semen (dicor).
Untuk mengetahui lebih jelas filosofi dari Monumen Luka, sebaiknya kita cermati terlebih dahulu puisi tentang Monumen Luka karya Hanafi berikut ini.


Buku negeri tahun ini
diawali dengan lembar kertas tebal
yang robek dibagian ujung-ujungnya,
Tsunami meluluhlantakan tepian barat pekarangan kita,
Korban berjatuhan dipukul tujuh pagi itu,
Yang luka terbaring di lorong-lorong Rumah Sakit,
jauh dari tempat dimana mereka terlempar.
Ada yang nafasnya tidak cukup panjang
untuk meraih jarak
menuju sebuah perlindungan.
 ...
Halaman akhir buku negeri ini
tergambar buram,
Sebuah potret tiga orang
dengan bom didadanya
yang juga meninggalkan
tak hanya luka-luka,
Tetapi juga menewaskan manusia. 
Lembar tengah yang menghubungkan
bagian awal dan akhir buku
berisi harapan dan kecemasan
atas teror dan kenyataan luka.
 ...
Menata kembali luka dan kesadaran utuh
hendak dikembangkan
melalui membaca lagi kesalahan-kesalahan
dan kebodohan laku manusia.
 ...
MONUMEN LUKA ini,
ingin memberi “Objek” sebagai tanda
Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.



Berdasarkan puisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa monumen yang terdiri atas tiga pembalut luka menjadi simbol bagaimana suasana hati korban bencana Tsunami Aceh. Mereka sangat menyedihkan tertimba bencana besar yang melanda dan meluluhlantahkan daerah tempat mereka tinggal. Pembalut luka pertama menggambarkan akhir dari ‘lembaran buku’ atau perjalanan hidup di tahun 2004 (terjadinya Tsunami Aceh), sedangkan pembalut luka terakhir menggambarkan awal dari ‘lembaran buku’ di tahun 2005. Mereka harus bangkit dan menata lembaran baru dengan penuh optimisme. Pembalut luka bagian tengah menggambarkan kecemasan setelah luka yang begitu perih dialaminya, takut apabila bencana serupa akan menimpa mereka kembali. Sungguh tidak mereka inginkan!
Apabila monumen dilihat sebagai sesuatu benda yang mengangkat topik Bom Bali, maka ketiga bentuk pembalut menggambarkan 3 tokoh pelaku Bom Bali, yaitu Amrozi, Imam Samudra, Azhari. Ketiganya merupakan tersangka pelaku pengeboman di Bali (baik Bom Bali 1 maupun Bom Bali 2) dan merupakan terpidana hukuman mati. Peristiwa itu sungguh menggoreskan luka yang teramat sedih bagi bangsa ini, terlebih lagi banyak korban yang berasal dari luar negeri, seperti Australia. Nama Indonesia, Bali khususnya, yang telah masyhur seolah tercoreng akibat tragedi tersebut. Pembalut tengah menggambarkan harapan dan kecemasan akan teror bom yang sewaktu-waktu terulang lagi di tempat yang sama maupun yangberbeda.
Pada intinya, Monumen Luka sangat filosofis dan mengandung nilai-nilai sejarah atau historis bangsa ini. Monumen tersebut menjadi lambang peristiwa kelam, lebih tepatnya 2 peristiwa dahsyat, yang telah mengganggu kenyamanan masyarakat Indonesia. Peristiwa Tsunami Aceh dan Bom Bali menjadi background atau latar belakang munculnya ide pembuatan monumen tersebut. Pembalut luka menjadi objek penggambaran, yang apabila diartikan sebagai makna denotasi sebagai pembalut utuk menutup luka agar cepat sembuh, dan apabila diartikan secara konotatif menjadi sebuah penganalogian menjadi sesuatu yang diharapkan dapat mengurangi dan menghilangkan kesedihan yang dialami oleh bangsa Indonesia ini untuk bisa bangkit dan bersatu lagi dalam sebuah kehidupan bermasyarakat yang multikultural.

Masjid Jami’ Soko Tunggal Kebumen sebagai Situs Budaya Warisan Indonesia

MASJID JAMI’ SOKO TUNGGAL KEBUMEN
SEBAGAI SITUS BUDAYA WARISAN INDONESIA

Diusulkan oleh:
Febri Hermawan (1006776302)
Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2011
MASJID JAMI’ SOKO TUNGGAL KEBUMEN
SEBAGAI SITUS BUDAYA WARISAN INDONESIA

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara geografis, kedudukan Indonesia cukup strategis. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai jalur perdagangan internasional. Konsekuensinya adalah terjadinya pertemuan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Dalam perjalanan sejarah, banyak agama yang dibawa oleh para pendatang dan akhirnya dianut oleh masyarakat Indonesia, mulai dari Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Di tanah Jawa, Islam diperkirakan masuk sekitar abad ke XI-XV dan berkembang menjadi negara yang paling berkuasa di Jawa (DR. HJ. De Graaf, DR. Th. G. Pigeaud, 1985). Pada masa Kerajaan Mataram Islam, muncul masjid-masjid yang dibangun sebagai sarana peribadatan. Di Kabupaten Kebumen —saat itu termasuk dalam lingkup Mataram— terdapat sebuah peninggalan bersejarah bernuansa Islam, yaitu Masjid Jami’ Soko Tunggal.
Masjid Jami’ Soko Tunggal sebagai benda cagar budaya merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan maupun sejarah kebudayaan bangsa. Warisan budaya tersebut sangat berguna bagi pendidikan, yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa nasionalisme dan memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Apabila mengacu pada Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan bahwa pemerintah “memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, maka salah langkah yang tepat adalah melakukan upaya untuk menjamin terpeliharanya benda cagar budaya. Oleh karena itu, untuk melindungi sumber peninggalan masa lalu secara utuh agar tetap terjaga kelestariannya sesuai Undang-Undang Benda Cagar Budaya (UU-BCB) Nomor 5 Tahun 1992, maka Masjid Jami’ Soko Tunggal layak atau pantas untuk diajukan sebagai situs budaya warisan Indonesia.
PEMBAHASAN
1.    Nama Situs
Masjid Jami’ Soko Tunggal
2.    Provinsi
Jawa Tengah
3.    Lokasi Geografis
Secara Geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27' - 7°50' Lintang Selatan dan 109°22' - 109°50' Bujur Timur. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan Wonosobo, berbatasan dengan Samudera Hindia di sebelah selatan, dan berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Cilacap di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Kebumen adalah 1.281,11 km2. Sementara itu, secara administratif, Kabupaten Kebumen terdiri dari 26 kecamatan. Masjid Jami’ Soko Tunggal terletak di Desa Pekuncen, Kecamatan Gombong. Masjid yang terletak sekitar 2 km dari pusat kota Gombong ini dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor) ataupun becak bahkan delman yang terdapat di sekitar Pasar Wonokriyo, Gombong.
4.  Deskripsi Masjid Jami’ Soko Tunggal
Sesuai namanya, Soko Tunggal, masjid ini hanya ditopang satu tiang (saka) saja. Soko tunggal sebagai penopang utama bangunan ini berbentuk segi empat dengan ukuran 30 x 30 centimeter (cm). Soko tunggal tersebut menjulang ke atas sekitar 4 meter tingginya. Di ujung atas soko tersebut terdapat dua buah kayu melintang sebagai penyangga utama bangunan masjid tersebut. Sementara itu, di tengah-tengah soko, terdapat empat buah danyang atau skur untuk membantu menyangga kayu-kayu yang ada di atasnya.
Kayu yang digunakan sebagai soko tunggal tersebut merupakan kayu jati pilihan. Karena keunikannya tersebut, Masjid Jami’ Soko Tunggal kerap menjadi bahan penelitian dan riset dari instansi dan universitas di Indonesia. Imam Masjid Jami’ Soko Tunggal Muhammad Jafar mengatakan, makna soko tunggal tersebut sebenarnya mengandung filosofi tersendiri. Menurutnya, soko tunggal melambangkan ke-esaan Allah SWT sebagai sang pencipta tunggal alam semesta. Makna tunggal tersebut diejawantahkan dengan memaknai Masjid Jami’ Soko Tunggal tersebut sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah SWT itu tunggal atau esa. Sementara itu, dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan, keberadaan masjid itu juga sebagai simbol satu tekad untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.  
5. Sejarah Masjid Jami’ Soko Tunggal
Terdapat banyak versi mengenai sejarah berdirinya Masjid Jami’ Soko Tunggal. Banyaknya versi cerita tersebut disebabkan oleh tidak adanya dokumentasi lisan  yang menjelaskan secara pasti sejarah berdirinya masjid ini. Bahkan, ada sebagain masyarakat yang menyebutkan bahwa masjid ini berdiri secara tiba-tiba tanpa adanya proses pembangunan. Akan tetapi, masyarakat yang mengetahui sejarah Masjid Jami’ Soko Tunggal sependapat mendapatkan sejarah masjid secara anonim.
Menurut salah satu tokoh masyarakat di desa Pekuncen, Ustadz Abu, cerita adanya Masjid Jami’ Soko Tunggal dimulai dari Surakarta yang saat itu bernama Kartasura sebelum tahun 1722. Pada saat itu, di bawah pemerintahan Amangkurat Mas II, terdapat isu bahwa akan adanya musuh yang ingin menggulingkan dinasti Kerajaan Paku Alaman. Kemudian, diadakan suatu sayembara. Barang siapa dapat mengalahkan musuh kerajaan tersebut akan mendapat hadiah.
Singkat cerita, ada seorang lelaki dari Banyumas yang mendaftar sayembara tersebut dan lelaki itupun memenangkan pertarungan melawan musuh kerajaan. Akhirnya, lelaki dari Bayumas itu mendapat hadiah seorang putri dari Amangkurat Mas II dan pangkat sebagai patih ndalem Kartasura. Lelaki dari Banyumas tersebut mendapat julukan Raden Adipati Mangkupraja. Selama bekerja di Kartasura, Raden Adipati Mangkupraja tersebut tetap menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim yang salah satunya yaitu salat lima waktu.
Dengan izin Raja Amangkurat Mas II, Raden Adipati Mangkupraja membangun sebuah masjid di Kartasura. Masjid tersebut berdiri hanya ditopang satu tiang. Masjid tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Masjid Jami’ Soko Tunggal di Desa Pekuncen.
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Raden Adipati Mangkupraja yang menikah dengan putri Amangkurat Mas II mendapati bahwa anak laki-lakinya tumbuh dewasa. Setelah dewasa, anak laki-lakinya tersebut dijadikan bupati di Sedayu yang merupakan daerah kekuasaan Amangkurat Mas II (sekarang berada di Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen) .
Pada saat itu, tahun 1722, masjid satu tiang yang berada di Kartasura tersebut dibawa ke Sedayu. Masjid tersebut diyakini dibawa oleh manusia tanpa bantuan alat transportasi saat itu. Terdapat tujuh komponen masjid yang dibawa ke Sedayu, yaitu satu tiang (soko), dua kayu yang melintang di atas, dan empat danyang (kayu penyangga kayu yang melintang di atas).
Setelah menjadi bupati di Sedayu selama tiga tahun, anak Raden Adipati Mangkupraja tersebut menjabat sebagai bupati di Jatinagara selama tiga tahun. Pembangunan masjid tersebut diketuai Demang Sembilan (demang dianggap sebagai ketua desa saat itu) yang terdiri dari Kyai Jrabang dari wetan, Kyai Tanah Kunci, Kyai Brangkal, Kyai Karangasem, Kyai Pekuncen, Kyai Semanding, Kyai Gumeng, Kyai Jatinegara, dan Kyai Tegalsari. Saat itu, dinding masjid hanya berupa anyaman bambu dan atap rumbai. Pembangunan masjid dilakukan setelah penguburan Raden Adipati Mangkupraja yang sekarang berupa situs pemakaman yang terletak tidak jauh dari masjid.
Pada tahun 1822, atap masjid diganti dengan genteng pathalan. Sejak saat itu, genteng masjid diganti setiap 100 tahun sekali. Pada tahun 1922, Masjid Jami’ Soko Tunggal menggunakan genteng Sokka dan tahun 2005 menggunakan genteng baru lagi.
Pada tahun 1825, Pangeran Diponegoro datang ke Sedayu, daerah Pekuncen. Saat itu juga, adik dari Pangeran  Diponegoro datang pada Pangeran Diponegoro untuk memberi tahu niat baik Belanda pada beliau. Adik dari Pangeran Diponegoro berkata bahwa Belanda sudah tidak berani melawan beliau dan saya datang pada kamu untuk menyampaikan pesan bahwa Belanda menginginkan sebuah perundingan dengan syarat tidak boleh membawa senjata atau teman. Ternyata, hal tersebut hanya taktik Belanda untuk melumpuhkan kekuatan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya. Adik Pangeran Diponegoro mau melakukan semua ini karena telah dijanjikan jabatan sebagai gubernur. Sesuai pepatah Jawa, “krumpyaning duit  plending pupu kuning”,  gelaplah matanya akan materi dan rela menukarnya dengan nyawa sang kakak. Hasilnya, Pangeran Diponegoro datang menghadap Belanda tanpa apapun dan tertangkap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro akhirnya dibuang ke Ambon.
Pada tahun 1922, sebelum bernama Desa Pekuncen, desa tersebut bernama Udanegara. Lalu, saat desa tersebut di bawah pemerintahan Belanda, diberi nama Desa Keputihan tetapi hanya dalam waktu yang singkat dikarenakan banyaknya masyarakat yang tidak mengembalikan pinjamannya pada Belanda dan membuat Belanda merugi. Akhirnya, menjadi kepemerintahan demangan dan bernama Desa Kepuncen.
Muhammad Jafar, selaku imam Masjid Jami’ Soko Tunggal memaparkan versi lain sejarah masjid unik ini. Menurut beliau, Masjid Jami’ Soko Tunggal dibangun oleh Adipati Mangkuprojo sekitar tahun 1719 Masehi. Saat itu, Adipati dalam perlawanannya melawan penjajahan Kompeni, mengungsi, dan bergerilya di daerah Pekuncen.
Waktu itu, dia hanya membuat pesanggrahan yang bersifat sementara. Dalam perkembangannya, selain bergerilya, Adipati Mangkuprojo juga giat melakukan syiar agama Islam. Setelah pengikutnya banyak, akhirnya, Adipati Mangkuprojo pun mendirikan Masjid Jami’ Soko Tunggal ini.
6. Penilaian terhadap Masjid Jami’ Soko Tunggal sebagai Situs Budaya Warisan Indonesia
Dengan berbagai pertimbangan, Masjid Agung Demak memenuhi kriteria sebagai situs budaya warisan Indonesia. Pertimbangan tersebut antara lain:
1)      Masjid Jami’ Soko Tunggal Merupakan Karya Agung Keunggulan Kreatif Manusia
Masjid Jami’ Soko Tunggal mewakili karya agung keunggulan kreatif manusia pada zamannya. Penilaian terhadap karya agung tersebut bukan dari megah dan mewahnya bangunan tersebut, tetapi dari ide atau gagasan dan nilai filosofis karya tersebut. Masjid tersebut mengandung nilai filosofis yang mendalam. Soko Tunggal melambangkan ke-esaan Allah SWT sebagai sang pencipta tunggal alam semesta. Makna tunggal tersebut diejawantahkan dengan memaknai masjid tersebut sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah itu Tunggal atau Esa.
2)      Masjid Jami’ Soko Tunggal Menggambarkan Perubahan dan Perkembangan Seni Arsitektural
Masjid Jami’ Soko Tunggal menggambarkan perubahan dan perkembangan seni arsitektural di Indonesia. Pada masa sebelum Islam datang, bangunan-bangunan di Indonesia didominasi oleh candi sebagai wujud konkret budaya dari agama Hindu-Budha. Kedatangan Islam di tanah Jawa tak pelak merubah gaya arsitektur dan bahan konstruksinya. Jika pada bangunan Hindu-Budha candi berbentuk tinggi menjulang, tanpa atap, dan meniadakan ruangan serta terdapat patung-patung, maka gaya Islam berbeda karena berbentuk seperti kubah atau limas sebagai atapnya dan terdapat ruangan di dalamnya. Kemudian, pada bangunan Hindu-Budha bahan konstruksinya adalah batu bahkan keseluruhannya, sedangkan pada bangunan Islam menggunakan anyaman bambu atau batu bata sebagai temboknya dan kayu (seperti kayu jati) sebagai penyangga atau tiang serta atap yang menggunakan rumbai atau genteng. Selain itu juga meniadakan patung-patung dan menggantikan ornamen-ornamen di dinding bangunan dengan lukisan kaligrafi. Masjid Jami’ Soko Tunggal menggunakan kayu jati pilihan sebagai penyangga utamanya, anyaman bambu sebagai temboknya, dan rumbai sebagai atapnya.  Baru kemudian setelah direnovasi atapnya menggunakan genteng dan dindingnya menggunakan batu bata.
3)      Masjid Jami’ Soko Tunggal Memiliki Hal Unik atau Memiliki Bukti yang Luar Biasa dari Tradisi Budaya atau Peradaban yang Masih Hidup
Masjid Jami’ Soko Tunggal mempunyai hal-hal unik dari segi wujud bangunan secara fisik. Bagaimana tidak, tiang utama penyangga masjid tersebut hanya menggunakan satu (1) soko atau tiang. Selain itu, bahan baku untuk membuat tiang penyangga utama adalah kayu jati pilihan. Karena keunikan itulah masjid tersebut kerap kali dijadikan sebagai objek dalam penelitian atau riset dari instansi dan universitas.
4)      Masjid Jami’ Soko Tunggal Menggambarkan Tahap Penting dari Sejarah Kemanusiaan
Masjid Jami’ Soko Tunggal merupakan satu-satunya masjid kala itu yang menggunakan satu tiang. Terlebih lagi, dalam sejarahnya, kerangka masjid tersebut disusun di Keraton Kartosuro, kemudian baru dibawa ke Pekuncen dengan berjalan kaki. Kerangka masjid terdiri dari satu batang saka dan empat buah danyang atau skur.
5)      Masjid Jami’ Soko Tunggal Mewakili Beberapa Budaya di Bawah Dampak Perubahan yang Tidak Dapat Ditolak
Keberadaan Masjid Jami’ Soko Tunggal mewakili beberapa budaya di bawah dampak perubahan yang tidak ditolak. Pengaruh Hindu-Budha yang masih melekat kala itu tidak merubah karya agung bersejarah tersebut secara fungsinya. Bahkan, bangunan tersebut menjadi salah satu wujud dari titik awal kebangkitan Islam di tanah Jawa.
6)      Masjid Jami’ Soko Tunggal Berhubungan dengan Tradisi yang Masih Hidup dengan Gagasan-gagasan atau Kepercayaan-kepercayaan
Masjid Jami’ Soko Tunggal berhubungan dengan tradisi yang masih hidup dengan kepercayaan yang ada di masyarakat tersebut. Secara tradisi (memfungsikan masjid) , masjid tersebut digunakan sebagai tempat untuk acara hari besar Islam, seperti Maulid Nabi dan Isra Mi’raj. Jika secara fisik masjid tersebut dibangun sedemikian rupa,, berbeda jauh dari bangunan Hindu-Budha, merupakan wujud dari kepercayaan yang timbul dari budaya Islam. Perubahan dalam arsitektur selalu didahului oleh perubahan agama dan sosial suatu masyarakat, jadi arsitektur hanyalah merupakan akibat dari hasil perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat (S. Gideon, 1966).        
7. Perbandingan dengan Situs Budaya Lain yang Sejenis
Secara historis, Masjid Jami’ Soko Tunggal merupakan masjid pertama di Indonesia yang dibangun dengan menggunakan satu (1) tiang penyangga utama. Bangunan tersebut dibangun pada tahun 1722 atau abad ke-18. Hingga akhirnya, pada abad ke-20 dibangunlah Masjid Jami’ Soko Tunggal yang kedua dengan luas 288 m2. Masjid tersebut berdiri di Kraton Kesultanan Yogyakarta. Perbedaannya adalah masjid tersebut tidak menggunakan paku sebagai pengikat antar unsur dalam konstruksinya. Selain itu juga tiang penyangga, kerap disebut ompak didatangkan langsung dari Bantul, Yogyakarta (bekas istana Sultan Agung di Pleret, Bantul).
Masjid Jami’ Soko Tunggal berada di Komplek Benteng Kraton, tepatnya berada di depan pintu masuk obyek wisata Taman Sari. Masjid ini masih tergolong baru karena diresmikan pada tanggal 28 Februari 1973. Masjid tersebut dibuat oleh  Sultan Hamengku Buwono IX untuk menghormati para suhada atau pahlawan yang gurur dalam pertempuran melawan tentara Belanda pada pertempuran yang dikenal Serangan Umum 1 Maret. Sedangkan Masjid Jami’ Soko Tunggal Kebumen dibangun atas dasar permintaan Adipati Mangkuprojo —seorang pelawan penjajah dan penyiar agama Islam pada masa itu—  sebelum meninggal. Setelah beliau wafat, untuk memperingati seribu (1000) hari setelah kematian, putranya membangun masjid tersebut sesuai wasiat dan hingga kini masih berdiri kokoh. Oleh karena itu, sekitar 300 meter arah utara terdapat situs lain, yaitu makam keluarga Adipati Mangkuprojo. Tidak mengherankan jika setiap bulan ruwah dalam penanggalan Islam, keluarga Sumitro Djoyohadikusumo (Begawan Ekonomi Indonesia) datang berziarah ke makam tersebut.
Berikutnya, berbicara mengenai kapasitas jamaah yang dapat ditampung, Masjid Jami’ Soko Tunggal Yogyakarta lebih besar daya tampungnya, karena mampu menampung jamaah sekitar 600 orang. Sedangkan pada Masjid Jami’ Soko Tunggal Kebumen hanya mampu menampung sekitar 150 orang saja. Secara kuantitas berbeda, tetapi secara kualitas masih sama, sebagai tempat beribadah.
8.  Alasan-alasan Pengajuan dan Relevansi
Saat ini keberadaan benda cagar budaya yang tak ternilai harganya mendapat ancaman kepunahan. Ancaman tersebut dapat berupa peristiwa alam, seperti gempa bumi, letusan gunung, cuaca,maupun oleh adanya ancaman karena ulah manusia, seperti perusakan, pencurian, dan pengembangan lahan yang berkaitan dengan aktifitas kegiatan pembangunan.
Pada era pembangunan saat ini, sering terjadi perbedaan kepentingan yang tidak jarang mengancam kelestarian benda cagar budaya, khususnya benda cagar budaya tidak bergerak. Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu usaha melestarikan benda cagar budaya dalam bentuk kegiatan yang mempunyai sasaran pokok tertentu. Seperti halnya dengan Masjid Jami’ Soko Tunggal sebagai situs budaya pantas untuk diajukan sebagai warisan Indonesia. Apabila merujuk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Masjid Jami’ Soko Tunggal termasuk ke dalam situs, yaitu lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
Berdasarkan lokasinya, maka bangunan benda cagar budaya Masjid Jami’ Soko Tunggal dapat diklasifikasikan ke dalam golongan yang pertama, yaitu benda cagar budaya yang berada di wilayah pedesaan (rural area). Secara keseluruhan Masjid Jami’ Soko Tunggal sudah tidak asli lagi 100% karena telah direhap sebanyak dua (2) kali, yaitu pada tahun 1822 dan 1922. Artinya setiap 100 tahun atau satu (1) abad mengalami perombakan.
Menurut ICOMOS, 1992, pelestarian dan pemanfaatan bangunan aset budaya dapat dilakukan tanpa meninggalkan prinsip atau kaidah pelestariannya. Kedua prinsip tersebut dapat berjalan bersamaan dengan mematuhi seperangkat ketentuan yang menyangkut tentang keaslian suatu bangunan yaitu keaslian bahan, bentuk atau desain, tata letak, serta keaslian pembuatannya (workmanship). Dengan demikian, setiap perubahan atau perusakan pada suatu bangunan dianggap mengurangi tingkat keaslian yang seharusnya dipertahankan atau dilestarikan. Meskipun demikian, walau secara keaslian bahan sudah tidak asli lagi, karena ada beberapa bahan, seperti atap yang telah diubah dari rumbai atau ijuk dengan genteng dan tembok diubah dari anyaman bambu dengan batu bata, tetapi bahan pembuat tiang penyangga utama masih asli dari pohon jati. Selain itu untuk bentuk atau desain  dari bangunan tersebut juga masih asli dan tata letaknya juga tidak ada perubahan.
Adapun relevansinya jika Masjid Jami’ Soko Tunggal menjadi benda cagar budaya berskala nasional, bukan hanya menjadi situs daerah atau lokal yang jarang didengar atau diketahui oleh masyarakat Indonesia secara luas. Masjid Jami’ Soko Tunggal diyakini dapat dijadikan sebagai salah satu objek wisata religi skala nasional. Dengan melihat konstruksi bangunannya saja, wisatawan yang datang akan segera mengagumi bagaimana orang pada zamannya itu dapat membangun masjid hanya dengan satu tiang dan masih kokoh berdiri hingga saat ini. Kemudian, wisatawan akan segera teringat pada Allah yang dengan kehendak-Nya dapat mendirikan bangunan hanya dengan satu tiang. Selain itu, akan semakin memaknai filosofi dari satu tiang itu sendiri bahwa Allah Maha Esa.
Masjid Jami’ Soko Tunggal telah dijadikan sebagai salah satu cagar budaya di Kabupaten Kebumen sejak bulan November tahun 2006. Penginvetarisasian Masjid Jami’ Soko Tunggal sebagai cagar budaya dilakukan secara kolektif dengan sekitar 50 cagar budaya lain di Kabupaten Kebumen. Sayangnya, belum adanya SK ataupun regulasi sebagai dokumen resmi yang menyatakan secara implisit Masjid Jami’ Soko Tunggal sebagai cagar budaya. Setelah masuk daftar inventaris cagar budaya Kabupaten Kebumen, Masjid Jami’ Soko Tunggal otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Perlu disadari bahwa pengelolaan cagar budaya diperlukan peran aktif semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat setempat. Pemerintah, khususnya dari Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Kebumen, mengakui bahwa pengelolaan cagar budaya di Kabupaten Kebumen masih secara kolektif. Padahal, tiap cagar budaya memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri, tidak bisa dipandang sebagai benda kolektif yang memiliki kebutuhan yang sama. Jika masyarakat mengharapkan concern-nya pemerintah pada tiap cagar budaya, pemerintah merasa belum mampu jika hanya pemerintah yang bergerak.
Cagar budaya masjid dan situs makam tentu saja memiliki kebutuhan pengelolaan yang berbeda. Jika masjid memerlukan pemugaran, situs makam tidak mungkin dilakukan pemugaran dalam konteks ini pemugaran bangunan sebagai konstruksi utama. Jika yang dimaksud pemerintah adalah kolektif dalam hal dana, tiap cagar budaya pasti memiliki alokasi dana yang berbeda. Jadi, perlu ditekankan lagi, masyarakat pun memegang peran penting dalam hal ini. Masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar cagar budaya harus berperan aktif dalam pengelolaan cagar budaya tersebut. Ada keyakinan bahwa jika suatu cagar budaya dikelola dengan baik, akan terwujud suatu obyek wisata yang dapat menjadi salah satu sumber penggerak sistem ekonomi masyarakat.
Apabila Masjid Jami’ Soko Tunggal disetujui sebagai situs budaya Indonesia dan terus mendapat sorotan dari berbagai pihak niscaya situs ini akan semakin lebih berfungsi dan bermakna bagi orang-orang kini. Masalah teknis, seperti tanda petunjuk jalan, perbaikan website untuk publikasi, dan tentunya perawatan masjid harus diperbaiki untuk mendukung visi. Yang terpenting adalah bahwa perlindungan benda-benda cagar budaya atau peninggalan sejarah yang merupakan bagian kekayaan intelektual bangsa dianggap minim



DAFTAR REFERENSI

Anonim. 1993. Keaneka Ragaman Bentuk Masjid di Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Firnanda, Sari Widya. 2009. Eksistensi Masjid Soko Tunggal sebgai Benda Cagar Budaya di Kabupaten Kebumen. Kebumen: Karya Tulis Ilmiah dalam Lomba Penulisan Karya Ilmiah tentang Permuseuman dan Kepurbakalaan tingkat Pelajar SMA/SMK/MA se-Jawa Tengah.
Mubarok, Abdul Malik. 2008. Masjid Satu Tiang, Melambangkan Keesaan Allah, (Online), (http://ramadan.okezone.com/read/2008/09/12/67/145389/masjid -satu-tiang-melambangkan-keesaan-allah, diakses Rabu, 2 November 2011, pukul 13.07 WIB).
Rochym, Abdul. 1983. Sejarah Arsitektur Islam: Sebuah Tinjauan. Bandung: Angkasa.
Sedyawati, Edi. 1996. Kumpulan Makalah (1993-1995). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudaryono. 2009. Masjid Kraton Soko Tunggal dibuat Tanpa Ada Paku, (Online), (http://www.indosiar.com/ragam/64733/masjid-kraton-soko-tunggal-dibuat -tanpa-ada-paku, diakses Rabu, 2 November 2011, pukul 13.10 WIB).
Supriyanto. 2010. Masjid Desa Pekuncen, Kebumen: Dibangun Tahun 1722 dengan Saka Tunggal, (Online), (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/ ramadan/ramadan_detail/54276/Dibangun-Tahun-1722-Dengan-Saka-Tunggal, diakses Rabu, 2 November 2011, pukul 13.04 WIB).