ANALISIS TERHADAP “MONUMEN LUKA”
oleh: Febri Hermawan, 1006776302
Monumen Luka merupakan sebuah monumen yang berdiri di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sejak tahun 2005. Monumen yang terletak di depan bekas gedung perpustakaan itu, diciptakan oleh seorang pelukis dan perupa ternama bernama Hanafi. Monumen Luka tersebut tercipta atas pengalaman realitanya terhadap sebuah bencana besar yang pernah melanda negeri ini, yaitu Tsunami Aceh, tanggal 26 Desember 2004 silam. Kejadian tersebut memang menggoreskan luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak yang berusaha untuk membangun sebuah karya arsitektur atau bangunan, seperti Museum Tsunami Aceh dan Monumen Luka untuk mengenang peristiwa di penghujung tahun 2004 itu. Selain itu, monumen itu juga terinspirasi dari tragedi Bom Bali. Berikut adalah gambar desain dan hasil dari Monumen Luka.
Gambar 2. Hasil
Dari kedua gambar tersebut di atas terlihat bahwa monumen dibuat secara sederhana dalam bentuk tiga pembalut luka yang terbuat dari besi, terdapat lipatan di ujung kiri setiap pembalut luka tersebut, terdapat lubang-lubang kecil di setiap pembalut luka, dan digantung dibawah tiang yang dibuat dari semen (dicor).
Untuk mengetahui lebih jelas filosofi dari Monumen Luka, sebaiknya kita cermati terlebih dahulu puisi tentang Monumen Luka karya Hanafi berikut ini.
Buku negeri tahun ini
diawali dengan lembar kertas tebal
yang robek dibagian ujung-ujungnya,
Tsunami meluluhlantakan tepian barat pekarangan kita,
Korban berjatuhan dipukul tujuh pagi itu,
Yang luka terbaring di lorong-lorong Rumah Sakit,
jauh dari tempat dimana mereka terlempar.
Ada yang nafasnya tidak cukup panjang
untuk meraih jarak
menuju sebuah perlindungan.
...
Halaman akhir buku negeri ini
tergambar buram,
Sebuah potret tiga orang
dengan bom didadanya
yang juga meninggalkan
tak hanya luka-luka,
Tetapi juga menewaskan manusia.
Lembar tengah yang menghubungkan
bagian awal dan akhir buku
berisi harapan dan kecemasan
atas teror dan kenyataan luka.
...
Menata kembali luka dan kesadaran utuh
hendak dikembangkan
melalui membaca lagi kesalahan-kesalahan
dan kebodohan laku manusia.
...
MONUMEN LUKA ini,
ingin memberi “Objek” sebagai tanda
Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan puisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa monumen yang terdiri atas tiga pembalut luka menjadi simbol bagaimana suasana hati korban bencana Tsunami Aceh. Mereka sangat menyedihkan tertimba bencana besar yang melanda dan meluluhlantahkan daerah tempat mereka tinggal. Pembalut luka pertama menggambarkan akhir dari ‘lembaran buku’ atau perjalanan hidup di tahun 2004 (terjadinya Tsunami Aceh), sedangkan pembalut luka terakhir menggambarkan awal dari ‘lembaran buku’ di tahun 2005. Mereka harus bangkit dan menata lembaran baru dengan penuh optimisme. Pembalut luka bagian tengah menggambarkan kecemasan setelah luka yang begitu perih dialaminya, takut apabila bencana serupa akan menimpa mereka kembali. Sungguh tidak mereka inginkan!
Apabila monumen dilihat sebagai sesuatu benda yang mengangkat topik Bom Bali, maka ketiga bentuk pembalut menggambarkan 3 tokoh pelaku Bom Bali, yaitu Amrozi, Imam Samudra, Azhari. Ketiganya merupakan tersangka pelaku pengeboman di Bali (baik Bom Bali 1 maupun Bom Bali 2) dan merupakan terpidana hukuman mati. Peristiwa itu sungguh menggoreskan luka yang teramat sedih bagi bangsa ini, terlebih lagi banyak korban yang berasal dari luar negeri, seperti Australia. Nama Indonesia, Bali khususnya, yang telah masyhur seolah tercoreng akibat tragedi tersebut. Pembalut tengah menggambarkan harapan dan kecemasan akan teror bom yang sewaktu-waktu terulang lagi di tempat yang sama maupun yangberbeda.
Pada intinya, Monumen Luka sangat filosofis dan mengandung nilai-nilai sejarah atau historis bangsa ini. Monumen tersebut menjadi lambang peristiwa kelam, lebih tepatnya 2 peristiwa dahsyat, yang telah mengganggu kenyamanan masyarakat Indonesia. Peristiwa Tsunami Aceh dan Bom Bali menjadi background atau latar belakang munculnya ide pembuatan monumen tersebut. Pembalut luka menjadi objek penggambaran, yang apabila diartikan sebagai makna denotasi sebagai pembalut utuk menutup luka agar cepat sembuh, dan apabila diartikan secara konotatif menjadi sebuah penganalogian menjadi sesuatu yang diharapkan dapat mengurangi dan menghilangkan kesedihan yang dialami oleh bangsa Indonesia ini untuk bisa bangkit dan bersatu lagi dalam sebuah kehidupan bermasyarakat yang multikultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar