Jumat, 09 Desember 2011

Ringkasan Mata Kuliah Pengantar Filologi Jawa (vol.1)


Ringkasan Mata Kuliah Pengantar Filologi Jawa
Febri Hermawan, 1006776302

1.    Naskah dan Teks
            Naskah merupakan peninggalan yang berupa helaian-helaian, berisi teks yang panjang dengan pembuatan secara tradisional. Sedangkan wacana yang terkandung di dalam naskah atau wacana yang dapat dibaca dari suatu naskah disebut teks. Naskah menjadi bidang kajian kodikologi, sedang teks merupakan bidang kajian tekstologi. Pengertian naskah mencakup alat tulis (beserta bahan dan teknik penjilidannya), sampul, aksara beserta sistem ejaannya, tinta, rubrikasi, iluminasi, dan hiasan-hiasan. Kemudian, dalam memahami teks, tidak semua orang memiliki “kemampuan membaca”, karena perlu keahlian khusus dalam mempelajari aksara beserta ejaannya, pengetahuan budaya, pengetahuan sastra, dan pemahaman budaya. Teks terbagi mejadi dua (2), yaitu teks lisan dan teks tulis. Teks lisan adalah wacana yang dihasilkan dan disebarluaskan atau diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, sedang teks tulis sebaliknya.
            Pengertian naskah dalam kajian sastra lama mengandung matra khas dan lama sehingga berbeda istilah dengan naskah masa kini, seperti naskah dalam dunia penerbitan, panggung, dan pidato. Pengertian “lama” memiliki matra “jarak waktu” dan “jarak budaya”. Jarak budaya lebih nyata disbanding jarak waktu karena naskah (dan teks yang terkandung di dalamnya) diciptakan pada masa lampau ketika unsur-unsur budaya yang menyertainya tidak diakrabi lagi oleh pembaca masa kini. Terdapat perbedaan antara naskah dan prasasti meski sama-sama peninggalan tertulis. Perbedaan tersebut, yakni (1) alat tulis prasasti berupa benda-benda keras, seperti batu dan logam, sedang alat tulis naskah mudah rusak, (2) prasasti tidak pernah digandakan, sedang naskah bersifat produktif, (3) isi prasasti lebih pendek dan ringkas daripada isi naskah, (4) wacana dalam prasasti benar-benar terjadi, sedang wacana dalam naskah kebanyakan bersifat rekaan atau fiksi, (5) prasasti relatif tetap berada di tempatnya semula, sedang naskah memiliki tingkat mobilitas yang relative tinggi.
            Alat tulis adalah bahan yang ditulisi dan disatukan (baca: dijilid) menjadi satu kesatuan yang kemudian disebut naskah. Dalam tradisi pernaskahan nusantara dikenal alat tulis berupa daun nipah, rontal, daluang atau dluwang, bambu, kulit kayu, kain, dan kertas Eropa. Selain dluwang, tradisi pernaskahan Jawa juga mengenal karas dan pundak. Karas diperkirakan berbentuk sebagai kepingan papan atau semacam batu tulis yang penulisannya menggunakan pengutik atau tanah. Pundak merupakan padanan bunga pandan dalam bahasa Jawa baru. Berbagai alas tulis tradisional tersebut sangat rentan terhadap cuaca dan serangga perusak, sehingga kemungkinan banyak naskah tidak sampai pada kita dewasa ini. Beruntunglah ada tradisi penyalinan sehingga banyak teks terselamatkan meskipun naskah awalnya telah musnah.
            Aksara bukan saja menjadi alat bantu komunikasi, tetapi juga menjadi sarana perekam cara berpikir, adat, norma, dan unsur budaya suatu masyarakat, kemudian menjadi sarana dokumentasi budaya. Tradisi keberaksaraan menandai tahap budaya: tahap sebelum dikenal tulisan disebut “masa prasejarah”, sedang tulisan disebut “masa sejarah”. Tradisi keberaksaraan Nusantara yang lebih nyata mulai berlangsung pada abad ke-10 dengan penulisan teks Kakawin Râmâyana berbahasa Jawa kuna. Naskah Jawa ditulis dengan aksara Jawa, aksara pegon, dan aksara Latin. Penulisan naskah Nusantara menggunakan aksara Batak, aksara rencong dan kaganga, aksara Sunda, aksara Bali, aksara Bugis, dan lain-lain.
            Komunikasi antara pembaca dan teks pada umumnya bersifat searah karena pembaca melakukan kegiatan membaca teks dengan segala pemaknaan dan penafsiran teks yang dibacanya. Oleh karena itu, perlu pemahaman khusus terhadap teks, termasuk aksara karena naskah dan teks merupakan produk budaya masa lalu yang keungkinan mempunyai jarak waktu yang sangat jauh dengan saat naskah dan teks tersebut dibaca. Bahasa merupakan sarana ungkap teks dan bahasa mengalami perubahan dan/ atau perkembangan dari masa ke masa, seperti halnya bahasa Jawa. Bahasa Jawa dibagi ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu bahasa Jawa kuna, bahasa Jawa pertengahan, dan bahasa Jawa baru. Bahasa Jawa baru masa kini dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan bahasa asing lainnya. Oleh karena itu, prosodi sastra macapat, kidung, dan kakawin berbeda.
            Menurut Pigeaud, teks-teks dalam naskah Jawa yang tersimpan di perpustakaan Negeri Belanda dibagi menjadi empat (4), yaitu (1) teks-teks keagamaan dan moral, (2) teks-teks sejarah dan mitologi, (3) teks-teks belles-lettres, (4) teks-teks ilmu pengetahuan, seni, ilmu sastra, hukum, cerita rakyat, adat, dan bunga rampai. Menurut Karsono, sastra wulang adalah karya sastra yang memiliki kandungan isi sebagai nasihat, petuah, dan ajaran (matra sosial). Sastra suluk dan wirid mengandung matra keagamaan (Islam).
            Kegunaan mengetahui umur naskah adalah untuk merunut silsilah teks, menafsirkan makna teks, dan menafsirkan aksara dan ejaan. Penentuan umur naskah dapat dilakukan melalui alat tulis, asalkan alas tulis berupa kertas Eropa yang memiliki “cap kertas” dan “cap sandingan” (berupa gambar dan/ atau huruf yang membayang pada bidang halaman alas tulis, akan tampak jika diterawang). Informasi mengenai umur naskah seringkali dapat diperoleh pada kolofon (catatan tambahan di akhir teks) berupa sengkalan (sejenis konogram, penunjukkan angka tahun melalui lambang). Terakhir, informasi mengenai umur naskah dapat diketahui melalui kelopak naskah. Apabila ketiga jenis informasi —alas tulis, kolofon, dan kelopak naskah— tersebut tidak ada, umur naskah dapat diperkirakan melalui gaya aksara dan ejaan. Sedangkan ntuk mengetahui umur teks, dapat dilihat atau ditafsirkan berdasar pada manggala, bahasa, dan nama atau peristiwa sejarah.
            Bahrend memperkirakan jumlah naskah Jawa sekitar 19.000-an dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, sedang Chambert-Loir mendaftar 22 negara di dunia yang menyimpan naskahnaskah Jawa. Disamping karena perdagangan, banyak naskah Jawa yang berpindah tangan karena dijadikan sebagai cendera mata atau hadiahkan kepada pihak lain.
            Katalog merupakan “daftar benda” yang menjadi subjek. Di dalam catalog juga disertakan keterangan fisik naskah. Tujuan dari katalogisasi adalah sebagai “pintu masuk” untuk mengetahui keberadaan naskah yang dicari. Katalog yang dianggap baik adalah catalog yang mnyertakan ringkasan isi teks.

2. Produksi dan Reproduksi
             Teks tercipta berdasar daya sanggit ‘kreatifitas’ para pujangga. Mata rantai proses penciptaan teks berkemungkinan dari teks lisan menjadi teks tulis lalu menjadi teks lisan lagi dan seterusnya. Korpus adalah seluruh naskah yang mengandung teks sejenis. Dalam tradisi pernaskahan Jawa, arketipos atau teks yang menjadi sumber penciptaan “teks baru” (dan juga penyalinan) disebut sebagai teks babon ‘induk’. Tujuan  penciptaan (atau penulisan) teks dipengaruhi oleh berbagai faktor, sesuai dengan situasi budaya ketika suatu teks ditulis. Teks kemungkinan ditulis sebagai ungkapan budaya untuk berkomunikasi, sebagai pengajaran, untuk mencatat peristiwa yang pernah terjadi, ditulis atas perintah seseorang atau pihak yang berkuasa, dan sebagai suatu persembahan kepada raja atau dewa. Teks bahkan dicipta dari akumulasi berbagai alasan di atas.
            Kemunculan sejumlah naskah yang mengandung teks sama atau sejenis merupakan hasil kegiatan reproduksi atau penyalinan, yang dalam tradisi pernaskahan Jawa disebut mutrani. Dalam tradisi penyalinan dikenal dua (2) macam tradisi penyalinan, yaitu penyalinan tertutup dan penyalinan terbuka. Penyalinan tertutup adalah proses penyalinan yang hanya menggunakan satu naskah sebagai naskah babon dan si penyalin setia melakukan penyalinan huruf demi huruf, tanda baca demi tanda baca, dan kata demi kata. Kesalahan mungkin terjadi karena adanya diffografi ‘rangkapn aksara, tetapi tidak mengubah makna. Penyalinan terbuka adalah suatu proses penyalinan dengan penyalin menentukan sikap “tidak setia” pada naskah induk yang disalinnya. Terdapat perbedaan tataran kata dan kalimat serta tataran hakikat teks atau cerita dengan naskah-naskah yang disalin. Munculnya versi dalam satu korpus tidak hanya karena penyalinan terbuka, tetapi juga karena penciptaan baru oleh pengarang yang berbeda. Alasan-alasan suatu naskah disalin, antara lain: (1) melestarikan teks dari kepunahan (akibat jazad renik, serangga, cuaca, dan vandalism), (2) ingin memiliki teks (karen adalam masyarakat tradisional, teks memiliki fungsi sosial yang dianggap memiliki kekuatan gaib), (3) atas perintah pihak lain, (4) alasan ekonomi.
            Pusat-pusat keberaksaraan yang sekaligus menjadi tempat penciptaan teks dan penyalinan naskah disebut scriptorium. Kelompok scriptorium, yakni scriptorium keraton dan scriptorium di luar keraton. Pengelompokkan tersebut sangat nisbi karena tidak disertai dengan criteria yang jelas. Seringkali naskah-naskah keraton dicirikan dengan penggunaan bahasa baku “baku”, ketaatan pada kaidah pembaitan, dan penulisan yang rapi dengan ejaan standar. Padahal naskah bukan keraton, seperti naskah-naskah pesantren juga terjaga dalam bahasa, pembaitan, dan kerapian serta enak dan indah untuk dibaca. Skriptorium sangat berkaitan dengan umur naskah dan umur teks.   
            Pengarang adalah orang yang melahirkan teks atau orang yang melahirkan karya pertama kali. Karya yang berupa teks seperti itu disebut sebagai “autograf”. Ketika teks yang terekam ke dalam bentuk naskah itu menjadi naskah induk dari naskah-naskah salinan atau menjadi purwarupa (prototype) teks-teks yang ada, autograf disebut sebagai “arketip”. Kegiatan pengarangan merupakan kegiatan intelektual yang biasanya berada di pusat-pusat kebudayaan: keraton atau istana, pesantren, atau mandala. Dalam proses penciptaan, pengarang tidak tidak berangkat dari dunia kosong, tetapi berdasar “teks” yang sudah ada. Teks itu dapat berupa teks secara visual dan dalam bentuk naskah, lakon, cerita lisan, peristiwa, keyakinan, ddan sebagainya. Kemudian diramu dan diolah sesuai dengan tradisi atau aturan yang berlaku di lingkungannya, dalam bentuk konvensi dan sanggit. Seringkali terdapat pendekatan yang semata-mata secara tekstual suatu naskah, penilaian absurd dan tidak masuk akal pasti akan terjadi. Namun, apabila pembaca mengenal kode budaya, yang berarti menangkap adanya perlambang, teks itu akan dibaca dengan penafsiran sehingga menghasilkan pemaknaan yang lain pula.
           
           

1 komentar:

  1. BetMGM is offering a $1,001 bet to make money from online
    The betting site's welcome bonus is giving new customers $1,001 평택 출장샵 risk 광주 출장마사지 free for หารายได้เสริม new bettors. BetMGM 제주 출장안마 is 수원 출장샵 a popular sports betting

    BalasHapus